Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa semua partai politik yang berpartisipasi dalam Pemilu memiliki kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Putusan ini akan dibahas oleh DPR dan pemerintah saat merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan tersebut diumumkan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam perkara 62/PUU-XXI/2023, di gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis (2/1/2025). MK telah mengabulkan semua permohonan pemohon.
Dr. Ferry Daud Liando, seorang Dosen Kepemiluan dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) di Manado, mengungkapkan bahwa keputusan MK memiliki konsekuensi yang signifikan. Pertama, dengan adanya lebih banyak calon presiden, pemenang Pilpres mungkin tidak akan memiliki legitimasi karena hanya dipilih oleh sekitar 20 persen pemilih. Sementara 80 persen suara tersebar di antara calon-calon lainnya.
Kedua, untuk mendapatkan dukungan mayoritas, kemungkinan akan ada dua putaran Pilpres. Dua pasangan calon dengan suara terbanyak di putaran pertama akan bersaing di putaran kedua. Namun, hal ini juga berarti biaya Pilpres akan meningkat.
Ketiga, ada potensi pemakzulan atau pemberhentian presiden di tengah jalan. Jika semua partai politik peserta Pemilu memiliki hak untuk mengajukan calon, maka ada kemungkinan calon yang terpilih dari partai yang tidak memiliki kursi di DPR dapat dihentikan. Selain itu, presiden yang tidak memiliki mayoritas kursi di DPR mungkin akan menghadapi kesulitan dalam merumuskan kebijakan.
Selain itu, dampak keempat adalah kemungkinan bahwa pendirian partai politik hanya sebagai alat untuk kepentingan jangka pendek oleh pendirinya. Partai-partai tersebut mungkin hanya digunakan sebagai jembatan untuk mencalonkan diri dalam Pilpres.
Dengan demikian, keputusan MK ini membawa konsekuensi yang kompleks dan perlu dipertimbangkan dengan matang. Semua pihak harus bekerja sama untuk memastikan bahwa proses Pemilu dan Pilpres berjalan lancar dan adil bagi semua pihak yang terlibat.